Jika kita sudah terbiasa sholat dan beribadah, namun masih ada sombong dan selalu menganggap orang lain lebih rendah dari kita, maka mungkin kita perlu merenungkan kembali ibadah yang kita lakukan.
Mungkin kita perlu bertafakkur, jangan-jangan teriakan "Allahu akbar" yang pada hakikatnya untuk memisahkan kita dari kepentingan duniawi justru kita jadikan alat justifikasi untuk memenuhi ambisi duniawi dan hawa nafsu, jangan-jangan kita memperalat ibadah kita demi tujuan duniawi, jangan-jangan kita berteriak Allahu akbar sebagai dalil bahwa kitalah yang paling benar dan paling paham ajaran Allah dimuka bumi sehingga berhak berbuat sesuka hati dan menghalalkan segala cara, atau, jangan-jangan kita termasuk golongan orang yg bertakbir, membesar-besarkan ego dan kesombongan kita sendiri??
Jika idealnya ucapan Allahu akbar adalah pernyataan pengakuan lahir batin akan kekerdilan kita, kelemahan kita, dan kesaksian kita bahwa kita senantiasa bergantung pada Allah dalam segala hal, karena tanpa Dia kehendaki, kita tidak akan pernah ada.
Baca Juga : Ketika Imam Al-Mawardi Membela Imam Muzani Dari Para Haters
Takbir membawa kita beralih dari tempat yg ramai ke tempat-tempat hening, dimana kita bisa
berjumpa dengan diri sendiri yangg sejati.
Seandainya kita sampai ke taraf ini, maka akan tiba suatu masa ketika Allahu akbar di ucapkan tanpa nafs al-amarah namun dengan gemetar takjub, ketika Allahu akbar diucapkan dengan hening dan khidmat namun meluluh lantakkan segala bentuk keangkuhan iman.
Ketika Allahu akbar menjadi pernyataan final akan kesunyian dan ketiadaan diri kita. Dan takbiratul ihram, "takbir yangg mengharamkan", adalah sebentuk perpisahan kita pada al-mulk. Dan jika kita semakin bertambah usia, perpisahan ini barangkali akan makin terasa. Banyak tempat yang dulu ramai, pelan tapi pasti menjadi sunyi dan hening saat orang-orang berpisah dengannya.
Tidak sedikit jumlah orang yang bertele-tele hidupnya dengan terus-menerus membiarkan pikiran dan hatinya dihuni rasa dengki, dipenuhi fitnah tentang ini dan kepada itu, dikili-kili prasangka-prasangka dan di gerogoti tuduhan-tuduhan. Baik yang di ungkapkan, di terapkan, maupun yang di biarkan terpelihara di dalam dirinya sampai hari tuanya.
Tetapi teman-teman ini tetap harus kita kagumi, karena tenaga hidupnya sangat besar sehingga tidak merasa kelelahan bersikap demikian.
Dan lebih mengagumkan lagi karena bersamaan dengan memelihara fitnah, para sahabat kita ini tetap mampu melakukan ibadah, sembahyang, bersujud dan berdoa minta banyak-banyak kepada Tuhan.
Sedikit puisi tentang artikel diatas:
Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apapun tak terwakili
Ia adalah ia sendiri
Semalam batok kepalaku pecah
Dipukul orang dari belakang
Tatkala bangun di pagi merekah
Hatiku telah memaafkan
Hati bermuatan seribu alam semesta
Dindingnya keremangan
Kalau kau keliru sapa
Ia berlagak jadi batu seonggokan
Kepala negara hingga kuli mengincar
Menjebak dan mencari hidupmu
Namun betapa ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi
Betapa Tuhan serasa hati ini
Dicacah dilukai berulang kali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari.
Semoga kutipan ini mampu membawa pencerahan pada diri kita sendiri, Cukup sekian dan terima kasih.
Karya : Choirudin Achmad
Disunting Oleh : Fatih Zainu
Comments
Post a Comment